Senin, 27 Oktober 2008

yang punya



Dody saputra d & Rido nur putra

XII ipa 2
GLOBALISASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI INDONESIA DAN KRITIKNYA*
Oleh: Bonnie Setiawan*

A. LATAR BELAKANG GLOBALISASI

Untuk memahami Globalisasi dan mekanisme dunia sekarang, orang perlu memahami Neo-Liberalisme. Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya, terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret Thatcher. Semenjak 1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF dan WTO. Neo-Liberal tidak lain adalah antitesa welfare state, antitesa neo-klasik, dan antitesa Keynesian. Dengan kata lain antitesa kaum liberal sendiri, yaitu Liberal Baru atau kaum Kanan Baru (New-Rightist).

Sejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von Hayek (1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal. Hayek terkenal juga dengan julukan ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus monetarisme. Kala itu adalah masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi oleh John Maynard Keynes. Keynesian dianggap berjasa dalam memecahkan masalah Depresi besar tahun 1929-1930. Terutama setelah diadopsi oleh Presiden Roosevelt dengan program "New-Deal" maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia ke-II, maka Keynesian resmi menjadi mainstream ekonomi. Bahkan Bank Dunia dan IMF kala itu terkenal sebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep Keynesian. Dasar pokok dari ajaran Keynes adalah kepercayaannya pada intervensi negara ke dalam kehidupan ekonomi. Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah mengikis pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja penuh (full employment) serta adanya pemerataan yang lebih besar. Dalam bukunya yang terkenal di tahun 1926 berjudul “The End of Laissez-Faire”, Keynes menyatakan ketidakpercayaannya terhadap kepentingan individual yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan umum. Katanya, “Sama sekali tidak akurat untuk menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalu bersesuaian dengan kepentingan umum”. Keynesianisme masih tetap menjadi dominant economy sampai tahun 1970-an.

Sementara itu neo-liberal belum lagi bernama. Akan tetapi Hayek dan kawan-kawan sudah merasa gelisah dengan mekarnya paham Keynes ini. Pada masa itu pandangan semacam neo-liberal sama sekali tidak populer. Meskipun begitu mereka membangun basis di tiga universitas utama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan Institut Universitaire de Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan inilah yang kemudian setelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neo-Liberal, yaitu Societe du Mont-Pelerin, Pertemuan mereka yang pertama di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang dan didanai oleh bankir-bankir Swiss. Termasuk hadir adalah Karl Popper dan Maurice Allais, serta tiga penerbitan terkemuka, Fortune, Newsweek dan Reader's Digest. Lembaga ini merupakan "semacam freemansory neo-liberal, sangat terorganisir baik dan berkehendak untuk menyebarluaskan kredo kaum neo-liberal, lewat pertemuan-pertemuan internasional secara reguler".

Pandangan Neo-Liberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah "The Road to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Buku tersebut kemudian menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di Reader’s Digest di tahun 1945. Ada kalimat di dalam buku tersebut: "Pada masa lalu, penundukan manusia kepada kekuatan impersonal pasar, merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban, sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa itu. Dengan melalui ketertundukan itu maka kita bisa ikut serta setiap harinya dalam membangun sesuatu yang lebih besar dari apa yang belum sepenuhnya kita pahami". Neo-liberal menginginkan suatu sistem ekonomi yang sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu akan dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu ditransmisikan melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada Serikat Buruh atau organisasi
ekonomi indonesia aneh
mohon penjelasan bagi yang ngerti masalah ekonomi.
saya ngga ngerti sama prinsip ekonomi pemerintah kita (indonesia) disaat semua bank didunia memangkas suku bunga malah BI dan diikuti bank nasional kita menaikan suku bunga-nya bukannya itu menghambat laju ekonomi kita dan membuat banyak rakyat kita tambah susah dengan naiknya suku bunga pinjaman dan apalagi suku bunga KPR dimana sebagian besar rakyat indonesia gak bakalan bisa beli rumah kalo ngga pinjem dari bank2 tersebut.
dan keanehan lainnya dulu pemerintah kita (indonesia tentunya) menaikan harga bbm dengan alasan akibat dari naiknya harga minyak dunia sampai mencapai US$ 147 per barel dan bagaimana dengan sekarang saat ini harga minyak dunia sudah turun 45% menjadi US$ 78 per barel tapi kayaknya pemerintah kita (indonesia lagi tentunya) gak ada tuh niat sedikitpun buat nurunin harga minyak.
atau emang pemerintah kita itu (indonesia lagi) lebih senang menaikan harga terus tanpa ada penyesuaian (penurunan) harga dan pastinya lagi pada laporan keuang akhir tahun akan bilang rugi terus.

Bank Dunia: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2008 Capai 6,4 Persen


Jakarta (ANTARA News) - Indonesia diprediksi bakal mengalami kenaikan tajam pada konsumsi domestik dan investasi pada 2008 sehingga ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih cepat dari 6,3 persen pada 2007 menjadi 6,4 persen.

"Kami perkirakan, momentum ekonomi dan laju petumbuhan ekonomi yang tinggi, disertai dengan kenaikan investasi pemerintah bakal dapat mempertahankan prospek positif ekonomi Indonesia pada tahun depan, meskipun ada perlambatan global," ungkap Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg, di Jakarta, Kamis, saat menyampaikan hasil tinjauan semesteran terbaru Bank Dunia tentang ekonomi Asia Timur dan Indonesia.

Joachim menambahkan, situasi makroekonomi yang kondusif akan membuka kesempatan reformasi pada sektor mikro. "Reformasi untuk memperbaiki iklim investasi akan dapat menumbuhkan investasi dengan cepat sehingga membuka lapangan kerja baru, kompetisi yang lebih terbuka, dan kenaikan pendapatan untuk menekan kemiskinan," ujarnya.

Sementara itu, Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia William Wallace mengingatkan, masih ada resiko penurunan mengingat situasi global yang masih bergejolak.

"Indonesia memang dikaruniai komoditas-komoditas dengan nilai jual tinggi di pasar yang kemudian diwujudkan dalam transaksi perdagangan sehingga mendorong pertumbuhan. Namun, di sisi lain, kenaikan harga produk yang tinggi itu terkompensasi oleh perlambatan ekonomi AS, yang menyebabkan perlambatan ekonomi dunia dan inflasi yang lebih tinggi," jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Bank Dunia mengungkapkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ekonomi baru di Asia Timur bakal mencapai 8,2 persen atau sedikit melambat dari 8,4 persen pada 2007 yang didorong oleh investasi dan konsumsi di China, meski perlambatan ekonomi AS akan mempengaruhi ekspor negara Asia Timur lainnya.

Ekonomi China sendiri diperkirakan bakal tumbuh 10,8 persen pada 2008, Jepang tumbuh 1,8 persen, Korea tumbuh 5,1 persen, Vietnam tumbuh 8,2 persen dan Thailand tumbuh 4,6 persen.

Ekonom Utama Bank Dunia, Vikram Nehru, mengatakan pertumbuhan cepat di Asia Timur menyebabkan penurunan tajam pada angka kemiskinan.

Menurut catatan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin yang hidup di bawah 2 dolar AS per hari di kawasan itu turun menjadi 27 persen dari sebelumnya 29,5 persen.

Terkait kenaikan harga minyak dunia yang saat ini berada pada level di atas 90 dolar AS per barel, Bank Dunia juga mencatat adanya kenaikan permintaan di negara berkembang di kawasan itu 3-4 persen per tahun.

Tinjauan itu menyebutkan, harga rata-rata 90 dolar AS per tahun pada 2008 akan memangkas 1 persen PDB di Asia Timur. (*)